TUGAS IBD 2
MASUKNYA
WALI SONGO DALAM MEMPENGARUHI BUDAYA DI INDONESIA
Pengertian
Wali Songo
|
|
Walisongo
atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad
ke-17. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat.
Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga
berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas
serta dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut
dibanding yang lain.
Dalam
sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Wali Songo adalah perintis dakwah Islam
di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik Ibrahim
(Syis, 1984; Sunyoto, 1991; Drewes, 2002). Wali Songo adalah pelopor dan
pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk menjalankan
dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15.
Wali sanga
Wali
Songo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati,
dan Sunan Kali Jaga.
Perkataan
wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti qaraba
yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian (Nasution, 1992;
Saksono, 1995. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat,
teman atau pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu)
orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran)
kepada cahaya (iman). Dan orang-orang kafir, pelidung-pelindung (auliya)
mereka ialah syetan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan
(kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.”
(QS. Al-Baqarah: 257)
Awal
sejarah wali songo :
Dalam
sejarah masuknya Islam ke Nusantara, Wali Songo adalah perintis dakwah
Islam di Indonesia, khususnya di Jawa, yang dipelopori Syeikh Maulana Malik
Ibrahim (Syis, 1984; Sunyoto, 1991; Drewes, 2002). Wali Songo adalah pelopor
dan pemimpin dakwah Islam yang berhasil merekrut murid-murid untuk
menjalankan dakwah Islam ke seluruh Nusantara sejak abad ke-15.
Wali
Songo terdiri dari sembilan wali; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan
Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung
Jati, dan Sunan Kali Jaga
|
Perkataan
wali sendiri berasal dari bahasa Arab. Wala atau waliya yang berarti qaraba
yaitu dekat, yang berperan melanjutkan misi kenabian (Nasution, 1992; Saksono,
1995. Dalam Al-Qur’an istilah ini dipakai dengan pengertian kerabat, teman atau
pelindung. Al-Qur’an menjelaskan: “Allah pelindung (waliyu) orang-orang yang
beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya
(iman). Dan orang-orang kafir, pelidung-pelindung (auliya) mereka ialah syetan,
yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu
adalah penghuni neraka; mereka kekal didalamnya.” (QS. Al-Baqarah: 257)
Selanjutnya,
kata songo menunjukkan angka hitungan Jawa yang berarti sembilan, angka
bilangan magis Jawa yang diambil dari kata ja yang memiliki nilai dan wa
yang bernilai enam (simuh, 1986). Namun demikian, ada juga yang berpendapat
bahwa kata songo berasal dari kata sana yang diambil dari dari bahasa Arab,
tsana (mulia) sepadan dengan mahmud (terpuji), sehingga pengucapan yang benar
adalah Wali Sana, yang berarti wali-wali terpuji (Adnan, 1952). Pendapat ini
didukung oleh sebuah kitab yang meriwayatkan kehidupan dan hal ihwal para wali
di Jawa yang dikarang oleh Sunan Giri II (Imron arifin, 2002).
Strata
sosial kultural masyarakat Jawa sebelum kehadiran Wali Songo sangat dipengaruhi
oleh kehidupan animispanteistik yang dikendalikan oleh para pendeta, guru ajar,
biksu, wiku, resi, dan empu. Mereka dianggap mempunyai kemampuan mistis dan
kharismatik (Thrupp, 1984). Kedudukan vital mereka diambil alih para wali
dengan tetap berfokus pada kehidupan mistis religius (Stuuerheim, 1977). Era
Wali Songo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia, khususnya di Jawa. Peranan Mereka dalam mendirikan kerajaan Islam
di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta
dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut di
bandingkan yang lain.
Berikut ini
adalah ulasan singkat mengenai peranan masing-masing sunan Wali Songo :
1. SUNAN GRESIK atau Maulana
Malik Ibrahim
Maulana
Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan
Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat Wali Songo . Ia
diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14.
Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan
lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada yang
memanggilnya Kakek Bantal. Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri dan 2 anak.
Maulana
Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang mendakwahkan Islam di
Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan banyak merangkul rakyat
kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang tersisihkan akhir kekuasaan
Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati masyarakat, yang tengah dilanda
krisis ekonomi dan perang saudara. Ia membangun pondokan tempat belajar agama
di Leran, Gresik. Pada tahun 1419, Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di
desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa Timur.
2. SUNAN AMPEL atau Raden Rahmat
Sunan Ampel
adalah Anak Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Menurut Babad Tanah Jawi dan
Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan namaRaden Rahmat. Ia
lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama
tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang
kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang).
Beberapa
versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M
bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka
singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh
ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri
dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit
beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.
Sunan Ampel
menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia
dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya
adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer
arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya
kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah,
putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun
1475 M.
Di Ampel
Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun
mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya.
Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang
sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para
santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian
disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.
Sunan Ampel
menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan
pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah
yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh
madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman
keras, tidak mencuri,
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”
Sunan Ampel
diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat
Masjid Ampel, Surabaya.
3. SUNAN BONANG atau Raden
Makhdum Ibrahim
Sunan Bonang
di perkirakan lahir tahun 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng
Manila, puteri seorang adipati di Tuban. Sunan Bonang adalah Anak Sunan Ampel,
yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Pada masa kecilnya, Sunan Bonang
memiliki nama Raden Makdum Ibrahim.
Sunan Bonang
belajar agama dari pesantren ayahnya di Ampel Denta. Setelah cukup dewasa, ia
berkelana untuk berdakwah di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ia berdakwah
di Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Di sana ia mendirikan
Masjid Sangkal Daha.
Ia kemudian
menetap di Bonang – desa kecil di Lasem, Jawa Tengah -sekitar 15 kilometer
timur kota Rembang. Di desa itu ia membangun tempat pesujudan/zawiyah sekaligus
pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Ia kemudian dikenal pula
sebagai imam resmi pertama Kesultanan Demak, dan bahkan sempat menjadi panglima
tertinggi. Meskipun demikian, Sunan Bonang tak pernah menghentikan kebiasaannya
untuk berkelana ke daerah-daerah yang sangat sulit.
Ia acap
berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau
Bawean. Di Pulau inilah, pada 1525 M ia meninggal. Jenazahnya dimakamkan di
Tuban, di sebelah barat Masjid Agung, setelah sempat diperebutkan oleh
masyarakat Bawean dan Tuban.
Tak seperti
Sunan Giri yang lugas dalam fikih, ajaran Sunan Bonang memadukan ajaran
ahlussunnah bergaya tasawuf dan garis salaf ortodoks. Ia menguasai ilmu fikih,
usuludin, tasawuf, seni, sastra dan arsitektur. Masyarakat juga mengenal Sunan
Bonang sebagai seorang yang piawai mencari sumber air di tempat-tempat gersang.
Ajaran Sunan
Bonang berintikan pada filsafat ‘cinta’(‘isyq). Sangat mirip dengan
kecenderungan Jalalludin Rumi. Menurut Bonang, cinta sama dengan iman,
pengetahuan intuitif (makrifat) dan kepatuhan kepada Allah SWT atau haq al
yaqqin. Ajaran tersebut disampaikannya secara populer melalui media kesenian
yang disukai masyarakat. Dalam hal ini, Sunan Bonang bahu-membahu dengan murid
utamanya, Sunan Kalijaga.
Sunan Bonang
banyak melahirkan karya sastra berupa suluk, atau tembang tamsil. Salah satunya
adalah “Suluk Wijil” yang tampak dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa’id Al
Khayr (wafat pada 899). Suluknya banyak menggunakan tamsil cermin, bangau atau
burung laut. Sebuah pendekatan yang juga digunakan oleh Ibnu Arabi, Fariduddin
Attar, Rumi serta Hamzah Fansuri.
Sunan Bonang
juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan
memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa
dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut).
Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas
pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya.
Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam.
Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan
antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
4. SUNAN DRAJAT atau Raden Qasim
Sunan Drajat
adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia
adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama
Arya Teja. Sunan Drajat banyak berdakwah kepada masyarakat kebanyakan. Ia
menekankan kedermawanan, kerja keras, dan peningkatan kemakmuran masyarakat,
sebagai pengamalan dari agama Islam. Pesantren Sunan Drajat dijalankan secara
mandiri sebagai wilayah perdikan, bertempat di Desa Drajat, Kecamatan Paciran,
Lamongan. Tembang macapat Pangkur disebutkan sebagai ciptaannya. Gamelan
Singomengkok peninggalannya terdapat di Musium Daerah Sunan Drajat, Lamongan.
Sunan Drajat diperkirakan wafat wafat pada 1522.
5. SUNAN KUDUS atau Ja’far Shadiq
Sunan Kudus
adalah putra Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, dengan Syarifah Ruhil atau
Dewi Ruhil yang bergelar Nyai Anom Manyuran binti Nyai Ageng Melaka binti Sunan
Ampel. Sunan Kudus adalah keturunan ke-24 dari Nabi Muhammad. Sunan Kudus bin
Sunan Ngudung bin Fadhal Ali Murtadha bin Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin
Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Jalaluddin bin Abdillah bin Abdul Malik Azmatkhan
bin Alwi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi
bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa bin Muhammad
bin Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal
Abidin bin Al-Husain bin Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad
Rasulullah. Sebagai seorang wali, Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam
pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan
Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di
kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati
Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus,
yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Kudus diperkirakan
wafat pada tahun 1550.
6. SUNAN GIRI atau Raden Paku
atau Ainul Yaqin
Ia memiliki
nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di
Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka
Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang
oleh keluarga ibunya, seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke
laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi
versi Meinsma).
Ayahnya
adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak
berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh
karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra
Pasai.
Sunan Giri
kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden
Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa
cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan
Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.
Pesantrennya
tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga
sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit –
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.
Giri Kedaton
tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden
Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai
penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad
Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga
sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.
Giri Kedaton
bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari,
dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada
Abad 18.
Para santri
pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai
pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara.
Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah
murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.
Dalam
keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih.
Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya
seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan
cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending
Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.
7. SUNAN KALIJAGA atau Raden Said
Sunan
Kalijaga, merupakan “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa.
Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati
Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya
Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam.
Nama kecil
Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan
seperti Lokajaya,Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat
beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.
Masyarakat
Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon.
Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan
Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk
berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut
istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya
sebagai ” penghulu suci” kesultanan.
Masa hidup
Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia
mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak,
Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546
serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia
ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak.
Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid
adalah kreasi Sunan Kalijaga.
Dalam
dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan
Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi
panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai
sarana untuk berdakwah.
Ia sangat
toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika
diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti
sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami,
dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.
Dialah
pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada,
lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun
dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode
dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam
melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura,
Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga
dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.
8. SUNAN MURIA atau Raden Umar
Said
Ia putra
Dewi Saroh – adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan
Sunan Kalijaga Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari
tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota
Kudus.
Gaya
berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda
dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan
jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam. Bergaul dengan rakyat
jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang
dan melaut adalah kesukaannya.
Sunan Muria
seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan
Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai
masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat
diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara,
Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat
seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.
9. SUNAN GUNUNG JATI atau Syarif
Hidayatullah
Sunan Gunung
Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya
adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa.
Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir
keturunan Bani Hasyim dari Palestina.
Syarif
Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir.
Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro
Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon
yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.
Dengan
demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin
pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja
Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan
atau Priangan.
Dalam
berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga
mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang
menghubungkan antar wilayah.
Bersama
putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke
Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah
Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.
Pada usia 89
tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah.
Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan
Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan
di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota
Cirebon dari arah barat.
Pengertian
Alkulturasi Budaya
|
|
Akulturasi
adalah fenomena yang timbul sebagai hasil jika kelompok-kelompok manusia yang
mempunyai kebudayaan yang berbeda-beda bertemu dan mengadakan kontak secara
langsung dan terus-menerus yang kemudian menimbulkan perubahan dalam pola
kebudayaan yang original dari salah satu kelompok atau kedua-duanya
(Harsoyo).
|
|
Budaya
Indonesia sebelum Wali Songo
|
|
Sebelum
Islam masuk ke bumi Nusantara, sudah terdapat banyak suku bangsa, organisasi
pemerintahan, struktur ekonomi, sosial dan budaya di Nusantara yang berkembang.
Semua itu tidak terlepas dari pengaruh sebelumnya, yaitu kebudayaan nenek
moyang (animisme dan dinamisme), dan Hindu Budha yang berkembang lebih dulu
daripada Islam.
Seperti halnya kondisi
masyarakat daerah pesisir pada waktu itu, bisa dikatakan lebih maju daripada
daerah lainnya. Terutama pesisir daerah pelabuhan. Alasannya karena daerah
pesisir ini digunakan sebagai pelabuhan dan pusat perdagangan. Penduduk
pesisir tekena percampuran budaya (akulturasi) dengan pedagang asing yang
singgah. Secara tidak langsung, dalam perdagangan yang dilakukan antara
keduanya, mereka menjadi mengerti kebudayaan pedagang asing. Pedagang asing
ini seperti pedagang dari Arab, Persia, China, India dan Eropa.
Budaya hindu di Jawa
Berbeda dengan daerah pedalaman
yang lebih tertutup (konservatif) dari budaya luar. Sehingga mereka lebih
condong pada kebudayaan nenek moyang mereka dan sulit menerima kebudayaan
dari luar. Awalnya Islam masuk dari pesisir kemudian menuju daerah pedalaman.
Masuknya Islam masih sudah terdapat kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha
yang masih eksis, diantaranya adalah kerajaan Majapahit dan kerajaan
Sriwijaya. Selain itu terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang tidak tersentuh
oleh pengaruh Hindu dari India. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi misalnya Gowa,
Wajo, Bone dan lainnya. Kerajaan-kerajaan di Sulawesi tidak menunjukkan
adanya pengaruh Hindu. Contohnya dalam penguburan pada masyarakat Gowa masih
berdasarkan tradisi nenek moyang, yaitu dilengkapi dengan bekal kubur.
Budaya kejawen
Hindu
Budha lebih dulu masuk di Nusantara daripada Islam. Islam masuk ke Nusantara
bisa dengan mudah dan lebih mudah diterima masyarakat pada waktu itu dengan
berbagai alasan. Pertama, situasi politik dan ekonomi kerajaan Hindu,
Sriwijaya dan Majapahit yang mengalami kemunduran. Hal ini juga disebabkan
karena perluasan China di Asia Tenggara, termasuk Nusantara.
|
|
Budaya
Indonesia setelah Wali Songo
|
|
Akibat
dari kemunduran situasi politik. adipati-adipati pesisir yang melakukan
perdagangan dengan pedagang muslim. Dan akhirnya mereka menjadi penerima
Agama Islam. Situasi politik seperti itu mempengaruhi masuknya Islam ke Nusantara
lebih mudah. Karena kekacauan politik, mengakibatkan kacauan pada budaya dan
tradisi masyarakat. Kedua, kekacauan budaya ini digunakan oleh
mubaligh-mubaligh dan pedagang muslim yang sudah mukim untuk menjalin
hubungan yang lebih dekat. Yaitu melalui perkawinan. Akibatnya pada awal
Islam di Nusantara sudah ada keturunan arab atau India. Misalnya di Surakarta
terdapat perkampungan Arab, tepatnya di para Kliwon (kampung Arab).
Setelah
masuknya Islam di Nusantara, terbukti budaya dan ajaran islam mulai
berkembang. Hal ini tidak bisa terlepas dari peran Mubaligh-mubaligh dan
peran Walisongo di Jawa. Bukti bahwa ajaran islam sudah dikerjakan masyarakat
Nusantara. Di kota-kota besar dan kecil yang sudah islam, terdapat
bangunan-banguna masjid yang digunakan untuk berjamaah. Hal itu merupakan
bukti budaya yang telah berkembang di nusantara.
Kesejahteraan dan kedamaian
tersebut dimantapkan secara sosio-religius dengan ikatan perkawinan yang
membuat tradisi Islam Timur Tengah menyatu dengan tradisi Nusantara atau
Jawa. Akulturasi budaya ini tidak mungkin terelakkan setelah terbentuknya
keluarga muslim yang merupakan nucleus komunitas muslim dan selanjutnya
memainkan peranan yang sangat besar dalam penyebaran Islam. Akulturasi budaya
ini semakin menemukan momentumnya saat para pedagang ini menyunting keluarga
elit pemerintahan atau keluarga kerajaan yang berimplikasi pada pewarisan
“kekuatan politik” di kemudian hari.
Tiga
daerah asal para pedagang tersebut dari Arab (Mekah-Mesir), Gujarat (India),
dan Persia (Iran) tersebut menambah varian akulturasi budaya Islam Nusantara
semakin plural. Hal ini bisa dirujuk adanya gelar sultan al-Malik bagi raja
kesultanan Samudra Pasai. Gelar ini mirip dengan gelar sultan-sultan Mesir
yang memegang madzhab syafi’iah, gaya batu nisan menunjukkan pengaruh budaya
India, sedangkan tradisi syuroan menunjukkan pengaruh budaya Iran atau Persia
yang syi’ah. Budaya Islam Nusantara memiliki warna pelangi.
Di saat
para pedagang dan kemunitas muslim sedang hangat memberikan sapaan sosiologis
terhadap komunitas Nusantara dan mendapatkan respon yang cukup besar sehingga
memiliki dampak politik yang semakin kuat, di Jawa kerajaan Majapahit pada
abad ke-14 mengalami kemunduran dengan ditandai candra sangkala, sirna ilang
kertaning bumi (1400/1478 M) yang selanjutnya runtuh karena perang saudara.
Setelah Majapahit runtuh daerah-daerah pantai seperti Tuban, Gresik,
Panarukan, Demak, Pati, Yuwana, Jepara, dan Kudus mendeklarasikan
kemerdekaannya kemudian semakin bertambah kokoh dan makmur.
Dengan
basis pesantren daerah-daerah pesisir ini kemudian mendaulat Raden Fatah yang
diakui sebagai putra keturunan Raja Majapahit menjadi sultan kesultanan Demak
yang pertama. Demak sebagai “simbol kekuatan politik” hasil akulturasi budaya
lokal dan Islam menunjukkan dari perkawinan antara pedagang Muslim dengan
masyarakat lokal sekaligus melanjutkan “warisan” kerajaan Majapahit yang
dibangun di atas tradisi budaya Hindu-Budhis yang kuat sehingga peradaban
yang berkembang terasa bau mistik panteistiknya dan mendapat tempat yang
penting dalam kehidupan keagamaan Islam Jawa sejak abad ke 15 dan 16. Hal ini
bisa ditemukan dalam karya sastra Jawa yang menunjukkan dimensi spiritual
mistik yang kuat.
Islam
yang telah berinteraksi dengan budaya Arab, India, dan Persia dimatangkan
kembali dengan budaya Nusantara yang animis-dinamis dan Hindu-Budhis. Jika
ditarik pada wilayah lokal Jawa masyarakat muslim Jawa menjadi cukup mengakar
dengan budaya Jawa Islam yang memiliki kemampuan yang kenyal (elastis)
terhadap pengaruh luar sekaligus masyarakat yang mampu mengkreasi berbagai
budaya lama dalam bentuk baru yang labih halus dan berkualitas.
Asimilasi
budaya dan akomodasi pada akhirnya menghasilkan berbagai varian keislaman
yang disebut dengan Islam lokal yang berbeda dengan Islam dalam great
tradition. Fenomena demikian bagi sebagian pengamat memandangnya sebagai
penyimpangan terhadap kemurnian Islam dan dianggapnya sebagai Islam
sinkretis. Meskipun demikian, banyak peneliti yang memberikan apresiasi
positif dengan menganggap bahwa setiap bentuk artikulasi Islam di suatu
wilayah akan berbeda dengan artikulasi Islam di wilayah lain.
Untuk
itu gejala ini merupakan bentuk kreasi umat dalam memahami dan menerjemahkan
Islam sesuai dengan budaya mereka sendiri sekaligus akan memberikan
kontribusi untuk memperkaya mozaik budaya Islam. Proses penerjemahan ajaran
Islam dalam budaya lokal memiliki ragam varian seperti ritual suluk bagi
masyarakat Minangkabau yang mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah, sekaten di
Jogjakarta, lebaran di Indonesia, dan lain sebagainya.
Persinggungan
Islam di Jawa dengan budaya kejawen dan lingkungan budaya istana (Majapahit)
mengolah unsur-unsur hinduisme dan budaya pedesaan (wong cilik) yang tetap
hidup meskipun lambat laun penyebaran dan tradisi keislaman semakin jelas
hasilnya. Budaya Islam masih sulit diterima dan menembus lingkungan budaya
Jawa istana yang telah canggih dan halus itu.
Penolakan
raja Majapahit tidak terhadap agama baru, membuat Islam tidak mudah masuk
lingkungan istana. Untuk itu para dai agama Islam lebih menekankan kegiatan
dakwahnya dalam lingkungan masyarakat pedesaan, terutama daerah pesisiran dan
diterima secara penuh oleh masyarakat pedesaan sebagai peningkatan budaya
intelektual mereka. Dalam kerja sosial dan dakwahnya, para Wali Songo juga
merespon cukup kuat terhadap sikap akomodatif terhadap budaya tersebut. Di
antara mereka yang sering disebut adalah Sunan Kalijaga.
Demoralisasi
yang terjadi di Jawa karena perang saudara tersebut, kalangan muslim, lewat
beberapa tokohnya seperti Sunan Kalijaga mampu menampilkan sosok yang serba
damai dan rukun. Jawa sebagai negeri pertanian yang amat produktif, damai,
dan tenang. Sikap akomodatif yang dilakukan oleh para dai ini melahirkan
kedamaian dan pada gilirannya menumbuhkan simpati bagi masyarakat Jawa.
Selain karena proses akulturasi budaya akomodatif tersebut, menurut Ibnu
Kholdun, juga karena kondisi geografis seperti kesuburan dan iklim atau cuaca
yang sejuk dan nyaman yang berpengaruh juga terhadap perilaku penduduknya.
Pandangan serupa juga dikemukakan oleh Syahrastani, dalam al-Milal wa
al-Nihal yang menyebutkan ada pengaruh posisi atau letak geografis dan suku
bangsa terhadap pembentukan watak atau karakter penduduknya.
Faktor
fisiologis mempengaruhi watak psikologis dan sosialnya. Begitu juga letak
geografis, tingkat kesuburan, dan kesejukan pulau Jawa akan mempengaruhi
seseorang dalam berperilaku dan bersikap. Siapapun yang ingin sukses di Jawa
ia harus memperhatikan karakteristik ini sehingga strategi dan pendekatan
yang digunakan bisa berjalan dengan baik dan efektif.
Akulturasi
dan adaptasi keislaman orang Jawa yang didominasi keyakinan campuran mistik
konsep Hindu-Budha disebut kejawen atau juga dinamakan agama Jawi. Sementara
penyebaran Islam melalui pondok pesantren khususnya di daerah pesisir utara
belum mampu menghilangkan semua unsur mistik sehingga tradisi Islam kejawen
tersebut masih bertahan. Pemeluk kejawen dalam melakukan berbagai
aktivitasnya dipengaruhi oleh keyakinan, konsep pandangan, dan nilai-nilai
budaya yang berbeda dengan para santri yang mengenyam pendidikan Islam lebih
murni.
Sejak
awal perkembangannya, Islam di Indonesia telah menerima akomodasi budaya.
Karena Islam sebagai agama memang banyak memberikan norma-norma aturan
tentang kehidupan dibandingkan dengan agama-agama lain. Bila dilihat kaitan
Islam dengan budaya, paling tidak ada dua hal yang perlu diperjelas: Islam
sebagai konsespsi sosial budaya, dan Islam sebagai realitas budaya. Islam
sebagai konsepsi budaya ini oleh para ahli sering disebut dengan great tradition
(tradisi besar), sedangkan Islam sebagai realitas budaya disebut dengan
little tradition (tradisi kecil) atau local tradition (tradisi local) atau
juga Islamicate, bidang-bidang yang “Islamik”, yang dipengaruhi Islam.
Tradisi
besar (Islam) adalah doktrin-doktrin original Islam yang permanen, atau
setidak-tidaknya merupakan interpretasi yang melekat ketat pada ajaran dasar.
Dalam ruang yang lebih kecil doktrin ini tercakup dalam konsepsi keimanan dan
syariah-hukum Islam yang menjadi inspirasi pola pikir dan pola bertindak umat
Islam. Tradisi-tradisi ini seringkali juga disebut dengan center (pusat) yang
dikontraskan dengan peri-feri (pinggiran).
Tradisi
kecil (tradisi local, Islamicate) adalah realm of influence- kawasan-kawasan
yang berada di bawah pengaruh Islam (great tradition). Tradisi local ini
mencakup unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian budaya yang meliputi
konsep atau norma, aktivitas serta tindakan manusia, dan berupa karya-karya
yang dihasilkan masyarakat.
Dalam istilah
lain proses akulturasi antara Islam dan Budaya local ini kemudian melahirkan
apa yang dikenal dengan local genius, yaitu kemampuan menyerap sambil
mengadakan seleksi dan pengolahan aktif terhadap pengaruh kebudayaan asing,
sehingga dapat dicapai suatu ciptaan baru yang unik, yang tidak terdapat di
wilayah bangsa yang membawa pengaruh budayanya. Pada sisi lain local genius
memiliki karakteristik antara lain: mampu bertahan terhadap budaya luar;
mempunyai kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; mempunyai
kemampuan mengintegrasi unsur budaya luar ke dalam budaya asli; dan memiliki
kemampuan mengendalikan dan memberikan arah pada perkembangan budaya
selanjutnya.
Sebagai suatu norma, aturan,
maupun segenap aktivitas masyarakat Indonesia, ajaran Islam telah menjadi
pola anutan masyarakat. Dalam konteks inilah Islam sebagai agama sekaligus
telah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Di sisi lain budaya-budaya local
yang ada di masyarakat, tidak otomatis hilang dengan kehadiran Islam.
Budaya-budaya local ini sebagian terus dikembangkan dengan mendapat
warna-warna Islam. Perkembangan ini kemudian melahirkan “akulturasi budaya”,
antara budaya local dan Islam.
Salah satu peninggalan masjid di Yogyakarta
Budaya-budaya lokal yang kemudian berakulturasi dengan Islam antara lain acara slametan (3,7,40,100, dan 1000 hari) di kalangan suku Jawa. Tingkeban (nujuh Hari). Dalam bidang seni, juga dijumpai proses akulturasi seperti dalam kesenian wayang di Jawa. Wayang merupakan kesenian tradisional suku Jawa yang berasal dari agama Hindu India. Proses Islamisasi tidak menghapuskan kesenian ini, melainkan justru memperkayanya, yaitu memberikan warna nilai-nilai Islam didalamnya.tidak hanya dalam bidang seni, tetapi juga di dalam bidang-bidang lain di dalam masyarakat Jawa. Dengan kata lain kedatangan Islam di nusantara dalam taraf-taraf tertentu memberikan andil yang cukup besar dalam pengembangan budaya local.
Pada
sisi lain, secara fisik akulturasi budaya yang bersifat material dapat
dilihat misalnya: bentuk masjid Agung Banten yang beratap tumpang, berbatu
tebal, bertiang saka, dan sebagainya benar-benar menunjukkan ciri-ciri
arsitektur local. Sementara esensi Islam terletak pada “ruh” fungsi
masjidnya. Demikian juga dua jenis pintu gerbang bentar dan paduraksa sebagai
ambang masuk masjid di Keraton Kaibon. Namun sebaliknya, “wajah asing” pun
tampak sangat jelas di kompleks Masjid Agung Banten, yakni melalui pendirian
bangunan Tiamah dikaitkan dengan arsitektur buronan Portugis,Lucazs Cardeel,
dan pendirian menara berbentuk mercu suar dihubungkan dengan nama seorang
Cina: Cek-ban Cut.
Dalam
perkembangan selanjutnya sebagaimana diceritakan dalam Babad Banten, Banten
kemudian berkembang menjadi sebuah kota. Kraton Banten sendiri dilengkapi
dengan struktur-struktur yang mencirikan prototype kraton yang bercorak Islam
di Jawa, sebagaimana di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Ibukota Kerajaan
Banten dan Cirebon kemudian berperan sebagai pusat kegiatan perdagangan
internasional dengan ciri-ciri metropolitan di mana penduduk kota tidak hanya
terdiri dari penduduk setempat, tetapi juga terdapat perkampungan-perkampunan
orang-orang asing, antara lain Pakoja, Pecinan, dan kampung untuk orang Eropa
seperti Inggris, Perancis dan sebagainya.
Dalam bidang kerukunan, Islam
di daerah Banten pada masa lalu tetap memberikan perlakuan yang sama terhadap
umat beragama lain. Para penguasa muslim di Banten misalnya telah
memperlihatkan sikap toleransi yang besar kepada penganut agama lain.
Misalnya dengan mengizinkan pendirian vihara dan gereja di sekitar pemukiman
Cina dan Eropa. Bahkan adanya resimen non-muslim yang ikut mengawal penguasa
Banten. Penghargaan atau perlakuan yang baik tanpa membeda-bedakan latar
belakang agama oleh penguasa dan masyarakat Banten terhadap umat beragama
lain pada masa itu, juga dapat dilisaksikan di kawasan-kawasan lain di
nusantara, terutama dalam aspek perdagangan. Penguasa Islam di berbagai
belahan nusantara telah menjalin hubungan dagang dengan bangsa Cina, India
dan lain sebagainya sekalipun di antara mereka berbeda keyakinan.
Alkulturasi budaya Lokal dan Islam di
Indonesia
Aspek
akulturasi budaya local dengan Islam juga dapat dilihat dalam budaya Sunda
adalah dalam bidang seni vokal yang disebut seni beluk. Dalam seni beluk
sering dibacakan jenis cirita (wawacan) tentang ketauladanan dan sikap
keagamaan yang tinggi dari si tokoh. Seringkali wawacan dari seni beluk ini
berasal dari unsur budaya local pra-Islam kemudian dipadukan dengan unsur
Islam seperti pada wawacan Ugin yang mengisahkan manusia yang memiliki
kualitas kepribadian yang tinggi. Seni beluk kini biasa disajikan pada
acara-acara selamatan atau tasyakuran, misalnya memperingati kelahiran bayi
ke-4- hari (cukuran), upacara selamatan syukuran lainnnya seperti kehamilan
ke-7 bulan (nujuh bulan atau tingkeban), khitanan, selesai panen padi dan
peringatan hari-hari besar nasional.
Akulturasi
Islam dengan budaya-budaya local nusantara sebagaimana yang terjadi di Jawa
didapati juga di daerah-daearah lain di luar Jawa, seperti Sumatera Barat,
Aceh, Makasar, Kalimantan, Sumatera Utara, dan daerah-daerah lainnya. Khusus
di daerah Sumatera Utara, proses akulurasi ini antara lain dapat dilihat
dalam acara-acara seperti upah-upah, tepung tawar, dan Marpangir.
|
|
Contoh-contoh
hasil alkulturasi budaya setelah masuknya Islam di Indonesia
|
|
|
Komentar
Posting Komentar